Sejak berdirinya tepat 100 tahun yang lalu, yakni pada 28 Oktober 1924, Rechtshogeschool yang kini menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) telah menjadi pusat pengkajian dan pengembangan Hukum Adat sebagai hukum aslinya Bangsa Indonesia di negeri ini. Dalam satu abad itu telah terjadi pasang-surut, baik dalam pengkajian Hukum Adat sebagai suatu ilmu, maupun keberlakuannya sebagai suatu sistem hukum.
Dalam masa kolonial, tepatnya sejak berlakunya Wet op de Staatsinrichting van Nederlands-Indië (Stbld. 1925-415 jo. 577) yang lebih dikenal sebagai Indische Staatsregeling pada 1 Januari 1926, hukum adat adalah hukum yang berlaku bagi golongan pribumi dan timur asing. Sampai sebelum pendudukan Jepang pada 9 Maret 1942, hukum adat berkembang dan berlaku sendiri di samping hukum-hukum yang berlaku di Belanda bagi golongan Eropa melalui asas konkordansi.
Setelah merdeka bahkan sebelumnya, upaya-upaya untuk menjadikan Hukum Adat sebagai hukum nasional Indonesia terus digiatkan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945), yang disiapkan oleh para Pendiri Negara yang tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI), yang kemudian disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, didasarkan atas gagasan-gagasan yang berasal dari kajian-kajian Hukum Adat.
Demikian pula, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang lebih populer dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), bahkan menegaskan bahwa “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat” (Pasal 5), yang telah dimurnikan dari pengaruh-pengaruh feodalisme dan diekstrapolasikan dan ditransendensikan ke tataran nasional. Hukum Adat merupakan kesadaran hukum rakyat yang sanggup menggantikan sistem hukum penjajahan yang menghisap dan menindas rakyat.
Sayangnya upaya-upaya ini melambat bahkan terhenti di era Orde Baru (1966 – 1998). Harus diakui, dalam masa-masa sebelumnya, berbagai klaim kedaerahan dan keberpihakan kepada rakyat, termasuk mengenai hukum adat, banyak disalahgunakan untuk mengganggu keamanan dan ketertiban umum, bahkan keselamatan negara dan persatuan bangsa. Itulah sebabnya rezim Orde Baru mengambil langkah kebijakan drastis membungkam berbagai klaim semacam itu, termasuk upaya-upaya untuk mengembangkan Hukum Adat dalam bentuk apapun.
Ketika Orde Baru tumbang, berbagai kekecewaan bahkan dendam terkait perasaan diabaikan bahkan ditindas dan dihisapnya daerah-daerah demi pertumbuhan ekonomi yang berpusat di Jawa meledak dan menuntut balas, antara lain dalam bentuk munculnya berbagai neotradisionalisme yang menghidupkan klaim-klaim mengenai “adat”, “masyarakat adat”, dan “hukum adat”. Hal ini antara lain didorong juga oleh agenda geopolitik internasional yang berupaya memajukan wacana “penduduk asli” atau indigenous people. Di Indonesia, konsep indigenous people ini kepalang disamakan dengan istilah “masyarakat adat”.
Sejak Era Reformasi (1998 – …) itulah “hukum adat” dihadapkan secara antagonistik dengan hukum nasional. Hukum yang diberlakukan oleh Negara Republik Indonesia selalu dipandang curiga sebagai hukum yang menindas dan menghisap, pendek kata, menjajah rakyat. Sebaliknya, hukum yang berlaku bagi rakyat di wilayah-wilayah “adat” masing-masing adalah “hukum adat”. Seperti di jaman kolonial, “hukum adat” kembali bersifat lokal dan regional, dan seakan-akan berlaku tersendiri di samping hukum nasional, sesuai dengan gagasan “pluralisme hukum”.
Tren ini seharusnya dipandang sebagai suatu kemunduran. Dalam 25 tahun awal kemerdekaan, Hukum Adat sesungguhnya telah mendapatkan tempatnya yang patut dan layak sebagai landasan dan ilham bagi hukum nasional Indonesia. Pengalaman pahit sepanjang 32 tahun kekuasaan Orde Baru membuat semua orang melupakan hal itu, bahkan membalikkan keadaan secara drastis, tidak kepada situasi yang ideal di awal kemerdekaan, tetapi malah mundur ke jaman penjajahan! Sejak 1998, situasi yang tidak ideal ini sudah berjalan lebih dari 25 tahun!
Bertepatan dengan peringatan Dies Natalis ke-100 FHUI, yang juga berarti Satu Abad Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia pada 2024 ini, arah pengkajian dan keberlakuan Hukum Adat harus dikembalikan ke relnya yang sejati, yakni menjadi dasar bagi pengembangan hukum, tidak saja hukum nasional Indonesia, tetapi juga hukum bagi umat manusia sedunia. Hal ini sejalan dengan sila-sila dalam Pancasila, yang merupakan intisari dari nilai-nilai fundamental Hukum Adat, yang sesungguhnya berlaku bagi seluruh manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan bagian dari kemanusiaan sedunia yang adil dan beradab.
Upaya-upaya ke jurusan itu diusulkan untuk dikoordinasikan dalam suatu klaster riset dalam lingkungan FHUI, yang khusus mendalami mengenai Hukum Adat. Klaster riset ini terutama akan beranggotakan para peneliti Hukum Adat yang juga merupakan pengajar tetap yang selama ini mengasuh dan mengampu mata kuliah-mata kuliah Hukum Adat di FHUI. Namun demikian, sejalan dengan sifat hakiki kajian Hukum Adat yang multidisipliner, klaster ini juga terbuka bagi peneliti-peneliti baik dari bidang-bidang ilmu hukum lain maupun berbagai disiplin ilmu lainnya.